Keikhlasan untuk Berkorban


Kebanyakan orang berkata bahwa bila ingin menjadi kaya, janganlah menjadi guru karena menjadi guru adalah pekerjaan yang tidak santai, memiliki tanggungjawab besar, tapi gajinya sedikit. Pernyataan seperti itu sepertinya memang cocok untuk menggambarkan kondisi guru pada beberapa tahun lalu. Oleh karena itu, Pemerintah telah berusaha meningkatkan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi. Dengan adanya program tersebut, guru akan mendapatkan tunjungan profesional yang besarnya adalah sebesar gaji pokok, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Bagaimana dengan guru-guru yang tidak mampu memenuhi persyaratan untuk dikatakan profesional dan tentunya mendapatkan tunjangannya? Jika memang seseorang menjadi guru karena panggilan jiwa, dia tidak akan memikirkan apakah saya mendapatkan tunjangan profesional atau tidak, tidak juga memikirkan bagaimana caranya agar saya bisa memenuhi syarat-syarat tersebut? Guru akan selalu mengutamakan kepentingan siswa-siswanya karena di matanya kepentingan siswa adalah segala-galanya. Bahkan, guru akan selalu ikhlas memberikan apa pun yang siswa butuhkan tanpa mempersoalkan imbalan.

Tidak semua guru di Indonesia ini Pegawai Negeri Sipil dan bersertifikat profesinal. namun, bukan berarti guru non-PNS bekerja lebih buruk. Banyak guru yang mengajar di daerah terpencil dan tidak terjangkau oleh sarana pendidikan, merasa terpanggil untuk mendidik anak-anak yang sama sekali belum tersentuh pendidikan. Hanya bermodalkan tekad dan semangat, tanpa mengantongi ijazah Sarjana Pendidikan atau Diploma. Mereka berjuang mengantarkan anak didiknya meraih prestasi, tanpa mempermasalahkan berapa gaji yang dia terima. Bahkan, program sertifikasi pun mereka belum pernah mendengar sama sekali. Namun, dengan semangat dan kesungguhan hati, mereka ikhlas berkorban memperjuangkan pendidikan anak-anak di daerah terpencil.

Suatu ketika seorang guru honorer dengan gaji sepersepuluh dari gaji PNS, golongan III A, yang kebetulan menjadi wali dari salah satu kelas IX, beranggotakan siswa-siswa dengan daya pikir yang dibawah rata-rata dari seluruh siswa kelas IX di suatu sekolah. Ia merasa mendapatkan tantangan untuk membawa siswa-siswanya pada kelulusan. Tantangan tersebut sepertinya berat sekali karena motivasi anak begitu rendah dalam belajar. Bahkan, sebagian besar guru selalu mengeluh setiap keluar dari kelas tersebut dan praktisi jadi bahan pembicaraan di ruang guru.

Sebagai wali kelasnya, guru tersebut merasa prihatin, baik dengan sikap siswa-siswanya maupun rekan-rekannya. Dengan berbagai upaya dia selalu berusaha mendorong dan memotivasi siswanya. Terkadang memberikan hadiah bagi siswa yang mendapat nilai bagus dalam ulangan, menyelipkan humor-humor kecil dalam pembelajaran agar siswa tidak merasa bosen dan menggunakan metode-metode pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Bila ada siswa yang tidak masuk, barang sehari saja tanpa keterangan maka segala dia akan mencari tahu dan membujuknya untuk berangkat ke sekolah. Bahkan, tidak jarang dia mengeluarkan uang demi kepentingan siswa-siswanya. Dengan ketulusan dan kesungguhannya itu, dia mampu mengendalikan perilaku siswa-siswanya hingga gayung bersambung, dia mendapatkan tempat juga di hati siswa-siswanya. Terbukti pada saat ulang tahunnya, siswa memberikan suprise dan hadiah ulang tahun.

Dari cerita di atas dapat terlihat bahwa apabila seorang guru dengan ikhlas membimbing dan mendidik siswa-siswanya dengan penuh kasing sayang maka energi kasih sayang akan sampai pada siswa dan sebaliknya, siswa akan menjadi suka dan sayang dengan guru. Bila sudah seperti itu, siswa akan lebih mudah diarahkan.

Referensi :
  • Widiasworo, Erwin. (2014). Rahasisa menjadi Guru Idola: Panduan Memaksimalkan Proses Belajar Mengajar Secara Kreatif dan Interaktif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Post a Comment

0 Comments